Rabu, 21 Desember 2016

cerpenku

Semu Jambu Merah

Hujan rintik disore hari ini mengingatkanku pada tiga tahun silam, dimana saat itu pertama kali ku mengagumi seorang ikhwan, menyukainya tapi aku lebih memilih untuk diam. Biar hanya aku dan Rabb ku yang tau, fikirku sejak itu. Dia seorang ikhwan yang sangat wara’ (kata semua ustadz dipondok kami), banyak sekali akhwat yang menyukainya. Saat itu aku masihlah anak baru (jadidah) kelas 1 Madrasah Tsanawiyah sedang dia kelas 3 Madrasah Tsanawiyah, aku tak mengerti dengan semua yang aku rasa. Jelas – jelas aku hanya merasa bahwa saat itulah pertama kali menyukai seorang ikhwan.
Tettt….. Tetttttt….. Tettttt… bel istirahat.
Semua siswa keluar kelas, ada yang langsung ke kantin, ke asrama, ada ke perpus atau biasa kita diam duduk di bawah pohon beringin. Aku, Lia, Ayu, Putri, Wardah, Sayyidah, Nursaleha dan Nushroh pergi ke perpus mengembalikan buku pelajaran tadi dikelas. Tiba – tiba saja……. Bruk… buku – buku yang kubawa berjatuhan dan aku merasa seperti ada sesuatu yang aneh, kuambil tapi ada tangan yang mendahuluiku, ah ternyata itu dia seorang santri yang selalu dipuji dan di sebut – sebut semua ustadz di pondok kami.
“ Hati – hati makanya ukhti”. Sambil tersenyum dia berikan buku – buku itu padaku. Subhanallah….
Aku hanya mampu mengangguk tersenyum lalu berbalik badan. Ah malu sekali rasanya, duh deg – deg an banget. Ada apa ya, fikirku. Dia dan teman – temannya pun pergi ke kelasnya lagi. Bel masuk berbunyi lagi, dikelas yang biasanya aku tidur aku jadi selalu keingetan kejadian tadi istirahat. Entah kenapa dan ada apa dengan diriku ini. Terlihat ketika mereka melewati kami seperti layaknya boyband di tv – tv.
Aku senang ternyata dia nggak pindah, karena pondok kami ada sekolah Madrasah Aliyahnya juga dan dia tetap di pondok. Dan ada yang membuatku lebih senang lagi, dipengajian ternyata kita satu tingkat ( kelas), aku akan lebih sering melihatnya. Setiap ta’lumut tafsirul qur’an, mabadiul awaliah (ushul fiqih) dan ilmu waris dia selalu jadi sorotan dan perhatian ustadz. Subhanallah aku semakin mengaguminya. Dipondok kami setiap santri kelas 2 Madrasah Aliyah pasti tentu dan harus menjadi pengurus, kami menyebutnya OPP (Organisasi Pelajar Pondok Pesantren) dan dia menduduki jabatan di bidang Pendidikan dan Pengajaran dengan kakak angkatku dipondok.
Aku dekat sekali dengan salah satu kakak kelasku dipondok, namanya Dewi. Semenjak kami sekamar kami seperti layaknya adik kakak, dia adalah kakak bagiku dan begitupun aku untuk dia. Semua hal yang terjadi, kita selalu cerita, tapi ada satu hal yang nggak pernah sama sekali aku ceritakan, tentang ini tentang perasaanku pada ikhwan itu. Bukan aku tak ingin, tapi aku merasa rasanya tak pantas untuk diceritakan.
“Hei, ke mading yuk, katanya ada pengumuman muhadlarah, siapa aja yang masuk final dakwah semester ini”, ajak Lia dan Ayu.
Alhamdulillah akhirnya aku masuk daftar finalis dakwah bahasa Arab lawan ikhwan. Para santri dan santriat berbondong – bondong pergi ke mesjid untuk melihat siapa yang jadi pemenang dari para finalis yang terpilih. Para finalis di dandani layaknya seorang putri muslimah dan seorang habib dari Timur Tengah.
“Untuk selanjutnya, dia datang dari tempat yang saaaaaangat jauh, kesini bilangnya sih Cuma mampir ya sekalian tausiah. Kita panggilkan Filzah Marhamatus Sadiah”………… seperti biasa kami menyambut da’i dan da’iyah dengan lantunan shalawat sebelum berdakwah untuk menyemangatinya. Bahasa arab, baru kali ini aku berdakwah bahasa Arab.  Dia, iya sejak saat dia menjadi pengurus aku lumayan dekat, dia melambaikan tangannya dan di bilang  semangat ya Filzah dakwahnya, Chayoo.. aku semakin bersemangat. Bismillahirrahmaanirrahiim………………………………………………..
…………
Diakhir jabatannya aku mendapat juara pertama lomba dakwah bahasa Arab. Subhanallah, ini benar – benar seperti mimpi. Ya meskipun banyak banget yang bilang kalo ini adalah bentuk hadiah terakhir dari Ukhti Dewi dan Akhi Imam. Sejak saat itu, beredar rumor kalo sebenarnya itu kado terakhir ukhti Dewi untuk Ridlo dan dari akhi Imam untuk aku. Sedikit agak aneh, apa dia tau kalo sangat mengaguminya, gumamku dalam hati.
Kedekatanku dengan Ukhti Dewi semakin erat, bahkan aku merasa tak ingin ditinggalkannya. Para santri santriat, demisioner akan pergi Perkasa (Perkampungan Santri) 10 hari, aku sedih karena kedua – duanya akan pergi, terlebih Ukhti Dewi. Hari – hari tanpa dia rasanya aneh, mungkin nanti jika ia pergi dari pondok kami akan terasa seperti ini. Dan besok adalah hari dimana mereka kembali kepondok setelah 10 hari mengabdi pada masyarakat. Salah satu ustadz kami memerintah kami untuk bersiap menyambut mereka kakak kelas kami tercinta dan dia yang sangat ku kagumi dengan lantunan shalawat. Bukan senang tapi justru aku semakin sedih, sebentar lagi perpisahan dan semua yang terfikir akan terjadi.
Sepulang Perkasa aku merasa aneh dengan Ukhti Dewi, entah hanya perasaanku saja atau memang benar. Aku merasa nggak aneh dan kenal, kenapa bajunya tergantung dijemuran akhwat, fikirku. Aku terkejut ketika kakiku melangkah tepat dipintu musholla ternyata ukhti Dewi setrikai bajunya.
“Ukhti, kok bajunya akhi Imam ada dijemuran kita? Kan gak boleh? Ukhti yang nyuciin ya…”Tanyaku penuh penasaran.
“Sssssttttt… Jangan bilang – bilang ya Filzah, Cuma kamu a’dla yang tahu. Nanti ukhti ceritain deh.” Aku hanya mengangguk tersenyum saja. Dag dig dug
Sebeulum tidur sepulang ku ta’lum kita selalu sempatkan waktu buat  cerita, dan ukhti bilang kalo dia pacaran sama akhi Imam. “Selamat ya Ukhti… cie cie ciee….” Aku terkejut, ingin menangis tapi aku tak ingin ukhti curiga. Semenjak itu, aku selalu merasa tersakiti kalo aku sedang berdua dengan ukhti. Orang yang selama ini aku kagumi dan aku sayangi bahkan aku cintai dia berhubungan dengan orang yang sangat dekat denganku dan sangat aku percayai, yang aku anggap sebagai kakakku sendiri. Dari kejadian itu aku tak pernah ingin lagi merasakan hal yang sama, hanya mengaguminya pun aku sudah tersakiti apalagi memilikinya. Aku bertekad melupakannya dan berserah diri saja. Ternyata mengagumi dan menginginkan seseorang itu lebih menyakitkan, bait – bait cintaku semakin tak bermakna, ketika apa yang ku sanjung tak memiliki arti bahasa hati.
Entah apakah ini pantas kusebut cinta pertama. Kini aku hanya bertekad untuk fokus dengan study-ku….


















Alfi Khairuni Ramdhan merupakan penulis asli dari cerpen ini. Ia sedang mengenyam pendidikan formal di Universitas Islam Bandung sejak tahun 2014. Ia lahir dari keluarga yang sederhana, di Jampang Tengah Sukabumi pada tanggal 07 Februari 1996 dan ia lahir dari Bapak Suparman S.pd dan Eni Rohayani. Ia pernah bersekolah di TK Harpan Jampang Tengah, SDN 3 Bojong Lopang dan pernah bersekolah disebuah Pondok Pesantren Terpadu di Sukabumi selama 6 tahun berturut – turut sebelum melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Ia sangat hobi dalam menulis, meskipun banyak ditemui kesalahan atau kekurangan dari tulisan – tulisannya.