Semu Jambu Merah
Hujan rintik disore hari ini
mengingatkanku pada tiga tahun silam, dimana saat itu pertama kali ku mengagumi
seorang ikhwan, menyukainya tapi aku lebih memilih untuk diam. Biar hanya aku
dan Rabb ku yang tau, fikirku sejak itu. Dia seorang ikhwan yang sangat wara’
(kata semua ustadz dipondok kami), banyak sekali akhwat yang menyukainya. Saat
itu aku masihlah anak baru (jadidah) kelas 1 Madrasah Tsanawiyah sedang dia
kelas 3 Madrasah Tsanawiyah, aku tak mengerti dengan semua yang aku rasa. Jelas
– jelas aku hanya merasa bahwa saat itulah pertama kali menyukai seorang
ikhwan.
Tettt….. Tetttttt….. Tettttt… bel
istirahat.
Semua siswa keluar kelas, ada yang
langsung ke kantin, ke asrama, ada ke perpus atau biasa kita diam duduk di
bawah pohon beringin. Aku, Lia, Ayu, Putri, Wardah, Sayyidah, Nursaleha dan
Nushroh pergi ke perpus mengembalikan buku pelajaran tadi dikelas. Tiba – tiba
saja……. Bruk… buku – buku yang kubawa berjatuhan dan aku merasa seperti ada
sesuatu yang aneh, kuambil tapi ada tangan yang mendahuluiku, ah ternyata itu
dia seorang santri yang selalu dipuji dan di sebut – sebut semua ustadz di
pondok kami.
“ Hati – hati makanya ukhti”. Sambil
tersenyum dia berikan buku – buku itu padaku. Subhanallah….
Aku hanya mampu mengangguk tersenyum
lalu berbalik badan. Ah malu sekali rasanya, duh deg – deg an banget. Ada apa
ya, fikirku. Dia dan teman – temannya pun pergi ke kelasnya lagi. Bel masuk
berbunyi lagi, dikelas yang biasanya aku tidur aku jadi selalu keingetan
kejadian tadi istirahat. Entah kenapa dan ada apa dengan diriku ini. Terlihat
ketika mereka melewati kami seperti layaknya boyband di tv – tv.
Aku senang ternyata dia nggak pindah,
karena pondok kami ada sekolah Madrasah Aliyahnya juga dan dia tetap di pondok.
Dan ada yang membuatku lebih senang lagi, dipengajian ternyata kita satu
tingkat ( kelas), aku akan lebih sering melihatnya. Setiap ta’lumut tafsirul
qur’an, mabadiul awaliah (ushul fiqih) dan ilmu waris dia selalu jadi sorotan
dan perhatian ustadz. Subhanallah aku semakin
mengaguminya. Dipondok kami setiap santri kelas 2 Madrasah Aliyah pasti
tentu dan harus menjadi pengurus, kami menyebutnya OPP (Organisasi Pelajar
Pondok Pesantren) dan dia menduduki jabatan di bidang Pendidikan dan Pengajaran
dengan kakak angkatku dipondok.
Aku dekat sekali dengan salah satu kakak
kelasku dipondok, namanya Dewi. Semenjak kami sekamar kami seperti layaknya
adik kakak, dia adalah kakak bagiku dan begitupun aku untuk dia. Semua hal yang
terjadi, kita selalu cerita, tapi ada satu hal yang nggak pernah sama sekali
aku ceritakan, tentang ini tentang perasaanku pada ikhwan itu. Bukan aku tak
ingin, tapi aku merasa rasanya tak pantas untuk diceritakan.
“Hei, ke mading yuk, katanya ada
pengumuman muhadlarah, siapa aja yang masuk final dakwah semester ini”, ajak
Lia dan Ayu.
Alhamdulillah akhirnya aku masuk daftar
finalis dakwah bahasa Arab lawan ikhwan. Para santri dan santriat berbondong –
bondong pergi ke mesjid untuk melihat siapa yang jadi pemenang dari para
finalis yang terpilih. Para finalis di dandani layaknya seorang putri muslimah
dan seorang habib dari Timur Tengah.
“Untuk selanjutnya, dia datang dari
tempat yang saaaaaangat jauh, kesini bilangnya sih Cuma mampir ya sekalian
tausiah. Kita panggilkan Filzah Marhamatus Sadiah”………… seperti biasa kami
menyambut da’i dan da’iyah dengan lantunan shalawat sebelum berdakwah untuk
menyemangatinya. Bahasa arab, baru kali ini aku berdakwah bahasa Arab. Dia, iya sejak saat dia menjadi pengurus aku
lumayan dekat, dia melambaikan tangannya dan di bilang semangat ya Filzah dakwahnya,
Chayoo.. aku semakin bersemangat. Bismillahirrahmaanirrahiim………………………………………………..
…………
Diakhir jabatannya aku mendapat juara
pertama lomba dakwah bahasa Arab. Subhanallah, ini benar – benar seperti mimpi.
Ya meskipun banyak banget yang bilang kalo ini adalah bentuk hadiah terakhir
dari Ukhti Dewi dan Akhi Imam. Sejak saat itu, beredar rumor kalo sebenarnya
itu kado terakhir ukhti Dewi untuk Ridlo dan dari akhi Imam untuk aku. Sedikit
agak aneh, apa dia tau kalo sangat mengaguminya, gumamku dalam hati.
Kedekatanku dengan Ukhti Dewi semakin
erat, bahkan aku merasa tak ingin ditinggalkannya. Para santri santriat,
demisioner akan pergi Perkasa (Perkampungan Santri) 10 hari, aku sedih karena
kedua – duanya akan pergi, terlebih Ukhti Dewi. Hari – hari tanpa dia rasanya
aneh, mungkin nanti jika ia pergi dari
pondok kami akan terasa seperti ini. Dan besok adalah hari dimana mereka
kembali kepondok setelah 10 hari mengabdi pada masyarakat. Salah satu ustadz
kami memerintah kami untuk bersiap menyambut mereka kakak kelas kami tercinta
dan dia yang sangat ku kagumi dengan lantunan shalawat. Bukan senang tapi
justru aku semakin sedih, sebentar lagi perpisahan dan semua yang terfikir akan
terjadi.
Sepulang Perkasa aku merasa aneh dengan
Ukhti Dewi, entah hanya perasaanku saja atau memang benar. Aku merasa nggak
aneh dan kenal, kenapa bajunya tergantung dijemuran akhwat, fikirku. Aku
terkejut ketika kakiku melangkah tepat dipintu musholla ternyata ukhti Dewi
setrikai bajunya.
“Ukhti, kok bajunya akhi Imam ada
dijemuran kita? Kan gak boleh? Ukhti yang nyuciin ya…”Tanyaku penuh penasaran.
“Sssssttttt… Jangan bilang – bilang ya
Filzah, Cuma kamu a’dla yang tahu. Nanti ukhti ceritain deh.” Aku hanya
mengangguk tersenyum saja. Dag dig dug
Sebeulum tidur sepulang ku ta’lum kita
selalu sempatkan waktu buat cerita, dan
ukhti bilang kalo dia pacaran sama akhi Imam. “Selamat ya Ukhti… cie cie
ciee….” Aku terkejut, ingin menangis tapi aku tak ingin ukhti curiga. Semenjak
itu, aku selalu merasa tersakiti kalo aku sedang berdua dengan ukhti. Orang
yang selama ini aku kagumi dan aku sayangi bahkan aku cintai dia berhubungan
dengan orang yang sangat dekat denganku dan sangat aku percayai, yang aku
anggap sebagai kakakku sendiri. Dari kejadian itu aku tak pernah ingin lagi
merasakan hal yang sama, hanya mengaguminya pun aku sudah tersakiti apalagi
memilikinya. Aku bertekad melupakannya dan berserah diri saja. Ternyata
mengagumi dan menginginkan seseorang itu lebih menyakitkan, bait – bait cintaku
semakin tak bermakna, ketika apa yang ku sanjung tak memiliki arti bahasa hati.
Entah apakah ini pantas kusebut cinta
pertama. Kini aku hanya bertekad untuk fokus dengan study-ku….